Ideologi Islam
Hakikat Ideologi
S
|
ecara harfiah, kata idelogi bukan
berasal dari islam. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani, idea dan logos;
Idea berarti gagasan, sedangkan logos berarti pengetahuan. Dalam istilah
politik, ideologi adalah sistem ide yang menyangkut filsafat, ekonomi, politik,
kepercayaan sosial dan ide-ide. Atau dalam ungkapan yang lebih sederhana bisa
didefinisikan dengan pemikiran yang mendasar, yang tidak dibangun berdasarkan
pemikiran lain. Pemikiran mendasar seperti ini adalah pemikiran dasar (ushûl),
bukan cabang (furû'), sekalipun kadang ada pemikiran cabang yang bisa
menghasilkan pemikiran lain, seperti Patriotisme, Nasionalisme dan sebagainya.
Pemikiran cabang seperti ini, memang bisa menghasilkan pemikiran lain, tetapi
tidak otomatis akan menjadikannya sebagai ideologi, karena pemikiran tersebut
bukan pemikiran dasar. Pemikiran ini hanya layak disebut kaidah (qâ'idah),
bukan ideologi (mabda').
Adapun pemikiran
ushûl, dalam pandangan ulama' Usuludîn adalah akidah; pemikiran yang menyeluruh
tentang alam, manusia dan kehidupan, serta apa yang ada sebelum kehidupan
(Allah), dan apa yang ada setelahnya (Hari Kiamat), berikut semuanya hubungan
dengan sebelum dan sesudah kehidupan (syariat dan hisâb/perhitungan amal).
Karena pemikiran ushul ini merupakan asas kehidupan; jika manusia melihat pada
dirinya, misalnya, dia akan menemukan, bahwa dia hidup di alam, maka selama dia
tidak mempunyai pemikiran mengenai dirinya, kehidupan dan alam yang ada di
sekelilingnya, dari aspek ada dan penciptaannya, maka dia tidak akan mampu
memunculkan pemikiran yang layak untuk dijadikan asas kehidupannya.
Hanya saja tidak semua pemikiran
akidah bisa menjadi ideologi, kecuali pemikiran akidah yang rasional; akidah
yang lahir dari pembahasan rasional. Jika akidah tersebut merupakan dogmatis
atau doktriner, maka ia tidak akan pernah menjadi pemikiran, karena tidak
mempunyai realitas, dan karena itu tidak disebut pemikiran yang menyeluruh,
sekalipun disebut akidah. Contohnya, pemikiran mengenai eksistensi tiga oknum
Tuhan, Bapak, Anak dan Roh Kudus, diyakini sama dengan satu, adalah pemikiran
yang tidak bisa dibuktikan realitasnya. Sebab, secara logis satu berbeda dengan
tiga, dan terbukti secara riil, satu adalah satu, dan tiga adalah tiga, dimana
masing-masing adalah realitas yang berbeda. Maka, menyatakan
ide trinitas sebagai ide ketuhanan yang maha esa, jelas bertentangan dengan
realitas. Karena itu, akidah seperti ini hanya diterima sebagai dogma dan
doktrin kebenaran, bukan sebagai hasil pembahasan rasional, yang terbukti
realitasnya. Dengan demikian, akidah seperti ini tidak layak menjadi ideologi.
Selain definisi
di atas, ideologi juga bisa didefinisikan dengan akidah rasional yang mampu
memancarkan sistem. Maka, bisa disimpulkan bahwa Islam adalah ideologi, karena
akidahnya merupakan akidah rasional yang mampu memancarkan sistem, yaitu
akumulasi hukum syara' untuk menyelesaikan permasalahan hidup. Masalah hubungan
manusia dengan tuhannya, dirinya sendiri dan juga sesamanya. Dengan demikian,
Islam bukan hanya agama, tetapi juga ideologi. Berbeda dengan Kristen, Yahudi,
maupun yang lain, atau Kapitalisme dan Sosialisme. Kristen dan Yahudi hanyalah
agama; masing-masing hanya mengajarkan spiritualisme, tanpa sistem yang mampu
menyelesaikan seluruh permasalahan hidup manusia. Sementara Kapitalisme dan
Sosialisme adalah ideologi, bukan agama, karena tidak mampu menyelesaikan
masalah spiritualitas manusia yang muncul dari naluri beragama mereka.
Maka, menyatakan
ideologi sebagai ciptaan akal manusia, semata karena melihat Kapitalisme dan
Sosialisme, kemudian digeneralisir untuk menyebut semua ideologi adalah produk
akal jelas merupakan kesalahan logis. Ideologi memang pemikiran yang bersemayam
pada benak manusia, tapi sumber pemikiran itu bisa dari kejeniusan akal, dan
bisa pula dari wahyu Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Islam
sebagai ideologi yang terbukti ketangguhannya sepanjang zaman, baik ketika
diemban oleh negara maupun tidak, adalah ideologi yang bukan merupakan produk
akal manusia, melainkan dari wahyu Allah SWT semata (lihat QS. Al
Baqarah 32, QS. Al Mukmin 2, dan QS. An Najm 3-4, QS. An Nahl 44).
Demikian juga
menyamakan Islam dengan Kristen dan Yahudi, karena masing-masing sama-sama
merupakan agama yang mengajarkan spiritualitas juga jelas merupakan kesalahan
analitis. Sebab, Kristen dan Yahudi tidak mempunyai konsepsi kehidupan, selain
konsepsi keakhiratan, dan masing-masing agama ini tidak mempunyai sistem untuk
menyelesaikan seluruh permasalahan kehidupan. Lebih-lebih kemudian menyamakan
Islam dengan Kristen dan Yahudi sebagai sumber konflik, karena itu Islam harus
dijauhkan dari wilayah politik, dan dikembalikan pada relnya sebagai ajaran
spiritual yang berfungsi mencerahkan jiwa, jelas merupakan kesalahan logika
yang sangat fatal. Semuanya ini merupakan kesalahan berfikir yang sengaja
ditanamkan oleh para pengemban ideologi Kapitalis dan Sosialis, alias
orang-orang kafir imperialis, dengan tujuan licik agar umat Islam tidak bisa
bangkit membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan mereka.
Realitas Akidah
Islam sebagai Ideologi
Sebagai ideologi,
akidah Islam adalah akidah rasional yang mampu memancarkan sistem. Rasionalitas
akidah Islam ini, bisa dibuktikan dengan tidak adanya kontradiksi antara apa
yang diyakini dengan realitasnya, dan bisa dibuktikan. Keyakinan mengenai
adanya Allah sebagai pencipta alam, manusia dan kehidupan, misalnya, sesuai
dengan realitas alam, manusia dan kehidupan itu sendiri yang terbatas. Dengan
keterbatasannya, masing-masing membutuhkan kepada yang lain. Tentu, yang
dibutuhkan adalah zat yang tidak terbatas, baik waktu, tempat maupun yang lain.
Maka, yang dibutuhkan pasti zat yang azali (azaliyu al-wujûd), yang ada dengan
sendirinya (wâjib al-wujûd) dan tidak didahului yang lain. Dia bukan makhluk
(makhlûq), bukan pencipta dirinya sendirinya sendiri (khâliq li nafshi), tetapi
azali (azaliyu al-wujûd). Dialah Allah SWT. zat yang Maha Esa, tidak beranak,
dan tidak diperanakkan. Allah berfirman:
"Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya, segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". (Q.s. al-Ikhlâs [112]: 1-4).
DiaJuga berfirman:
"Dialah Yang
Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin, dan Dia Maha Mengetahui
segala sesuatu." (Q.s. al-Hadîd [57]: 3)
Sedangkan keyakinan mengenai al-Qur'an
sebagai firman Allah, sesuai dengan realitas al-Qur'an yang merupakan kitab
suci berbahasa Arab. Sebagai kitab suci yang berbahasa Arab, ada tiga kemungkinan
bagi al-Qur'an: Pertama, al-Qur'an adalah kata-kata orang Arab (kalâm
al-'Arab), dan kemungkinan ini jelas batil, karena terbukti sejak diturunkannya
al-Qur'an hingga sekarang, atau sekitar 14 abad, tidak ada satu orang Arab pun
yang bisa membuatnya, atau membuat satu surat sepertinya, padahal tantangan
al-Qur'an kepada mereka sejak turunnya tetap berlanjut sepanjang masa. Kedua,
al-Qur'an adalah sabda Muhammad saw. (kalâm Muhammad), dan kemungkinan ini juga
batil, karena dua alasan: Pertama, Muhammad saw. adalah orang Arab, sehingga
kepadanya berlaku tantangan terhadap bangsa Arab pada kemungkinan pertama
tersebut, dan jika semua orang Arab terbukti tidak mampu, maka demikian juga
dengan Muhammad saw. Sebab, beliau merupakan bagian dari orang Arab. Kedua,
dari mulut Rasul telah keluar dua nash yang berbeda, yaitu al-Qur'an dan
as-Sunnah, sementara masing-masing mempunyai gaya bahasa yang berbeda. Jika keduanya
keluar dari mulut yang sama, dan sabda atau kata orang yang sama, tentu
keduanya pasti sama, dari sisi gaya
bahasa dan ungkapannya. Ternyata, masing-masing sangat jauh perbedaannya. Maka,
jelas al-Qur'an bukan merupakan sabda atau kata-kata Muhammad saw. Ketiga,
al-Qur'an adalah firman Allah SWT. dan inilah realitas al-Qur'an, setelah
dibuktikan dengan dua kemungkinan sebelumnya. Allah juga berfirman:
"Dan sesungguhnya
Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya al-Qur'an itu
diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang
yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam (bahasa
non-Arab), sedangkan al-Qur'an adalah dalam bahasa Arab yang terang."
(Q.s. an-Nahl [16]: 103).
Adapun keyakinan mengenai Muhammad
saw. sebagai Nabi dan Rasul Allah adalah keyakinan yang dibangun berdasarkan
realitas, bahwa beliaulah yang menyampaikan al-Qur'an, yang merupakan firman
Allah SWT. Sementara tidak seorang manusiapun yang diberi tugas untuk
menyampaikan kitab suci yang diturunkan Allah SWT, kecuali dia adalah seorang
nabi dan Rasul yang diutus oleh-Nya. Allah SWT. berfirman:
"Dan kami turunkan kepadamu (Muhammad) Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepda umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan." (Q.s. an-Nahl [16]: 44)
Keyakinan terhadap perkara di atas
terbukti tidak bertentangan dengan realitas yang ada; ketiganya juga bisa
dijangkau indra manusia. Sementara keyakinan terhadap malaikat, kitab-kitab
terdahulu, rasul-rasul lain selain Muhammad saw. dan Hari Kiamat, adalah
keyakinan yang juga tidak bertentangan dengan realitas yang diyakini. Karena
keempat realitas tersebut dinyatakan keberadaannya oleh nash yang qath'i dan
pasti benar, baik al-Qur'an dan as-Sunnah. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT.
dalam firman-Nya:
"Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (Q.s. an-Nisâ [4]: 136)
Ini jelas berbeda dengan kepercayaan
pada hantu, misalnya, yang sama sekali tidak terbukti realitasnya, baik secara
indrawi maupun penukilan yang dinyatakan oleh nash yang qath'i.
Adapun keyakinan terhadap qadhâ' dan qadar, sebagaimana yang dibahas oleh Mutakallimin, sebagai perbuatan yang memaksa manusia, baik yang berasal darinya maupun yang menimpa dirinya, serta khasiyyât benda diciptakan Allah; dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah adalah keyakinan yang sesuai dengan realitas, baik perbuatan maupun benda.
Adapun keyakinan terhadap qadhâ' dan qadar, sebagaimana yang dibahas oleh Mutakallimin, sebagai perbuatan yang memaksa manusia, baik yang berasal darinya maupun yang menimpa dirinya, serta khasiyyât benda diciptakan Allah; dimana baik dan buruknya semata-mata dari Allah adalah keyakinan yang sesuai dengan realitas, baik perbuatan maupun benda.
Semuanya ini
membuktikan rasionalitas akidah Islam sebagai keyakinan yang bulat, tidak
bertentangan dengan realitas dan bersumber dari dalil. Dengan keyakinan yang
rasional mengenai adanya Allah sebagai pencita alam, manusia dan kehidupan,
serta keyakinan yang rasional mengenai al-Qur'an sebagai syariat yang
diturunkan oleh Allah kepada Muhammad agar disampaikan kepada seluruh umat
manusia, sebagai standar akuntabilitas di hadapan Allah, serta Muhammad sebagai
Rasul, sang pembawa dan penjelas syariat, dan Hari Kiamat yang menjadi hari
pembalasan dan perhitungan (hisâb), maka gambaran tersebut akan mempengaruhi
tingkah lakunya dalam kehidupan, yang akan menempatkannya pada jalur yang benar
dan konsisten. Pada saat itulah, visi dan misi hidupnya sebagai pengemban
risalah yang agung dan mulia di muka bumi akan terwujud. Kemudian, sistem yang
terpancar dari risalah tersebut akan ditegakkan di muka bumi dengan dorongan
keyakinan yang bulat serta ketakwaan yang tinggi kepada Allah SWT. Inilah
hakikat akidah rasional Islam, yang memancarkan sistem dalam kehidupan.
Dengan demikian,
akidah Islam merupakan akidah yang dibangun berdasarkan akal. Sebab, setiap
muslim dituntut agar mengimani semua perkara yang diyakininya dengan akal, baik
secara langsung dengan akal maupun secara tidak langsung bila memang tidak bisa
dijangkau oleh akal; yaitu dengan memahami realitas yang dinyatakan oleh
dalil-dalil dari nash qath'i/pasti (Al Quran dan As Sunnah) yang telah
dibuktikan kebenarannya dengan akal. Disamping itu akidah Islam juga sesuai
dengan fitrah manusia. Sebab, akidah Islam mengakui kebutuhan manusia kepada
Allah Sang Pencipta, bukan hanya untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah,
tapi juga hubungan manusia dengan sesamanya, dan dengan dirinya sendiri.
Lahirnya Sistem Islam dari Akidah Islam
Sebagai akidah
rasional yang memancarkan sistem, ideologi Islam mempunyai proses yang berbeda dengan
Kapitalisme maupun Sosialisme. Jika realitas kehidupan dan akal manusia
merupakan satu-satunya sumber bagi Kapitalisme untuk melahirkan sistemnya,
sementara faktor produksi dan akal manusia merupakan satu-satunya sumber bagi
Sosialisme untuk melahirkan sistemnya, maka Islam berbeda dengan keduanya. Sistem
Islam lahir dari sumber yang tetap, yaitu nash-nash syara' yang tetap, Al Quran
dan As Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya sebagai sumber sistem
yang layak, yakni Ijma' Sahabat Rasulullah saw. dan Qiyas; dengan cara memahami
nash-nash tersebut, memahami realitas yang terjadi dalam kehidupan, dan
mengkompatibelkan realitas dengan nash. Jika realitas itu kompatibel dengan
nash, berarti hukum yang terdapat dalam nash tersebut merupakan hukum atas
realitas itu. Dan demikian sebaliknya. Dengan mekanisme ini, sistem Islam tidak
akan mengalami perubahan sepanjang waktu dan tempat. Pada waktu yang sama, di
setiap waktu dan tempat akan lahir para ahli hukum Islam (fuqaha/mujathid) yang
akan mampu menggali hukum (ijtihad) dari nash-nash tersebut untuk menyelesaikan
berbagai persoalan baru yang berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Adapun sistem
yang lahir dari akidah Islam adalah sistem yang mengatur hubungan antara
manusia dengan Tuhannya, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan dirinya
sendiri. Sistem tersebut meliputi dua aspek: Pertama, penyelesaian masalah
(mu'âlajah li masyâkil al-insân), yang meliputi: 'ibadâh, seperti shalat,
puasa, zakat, haji dan jihad; mu'âmalah seperti sistem pemerintahan, ekonomi,
sosial, pendidikan, dan politik luar negeri; serta akhlâq. Kedua, metode
(tharîqah), baik untuk menerapkan Islam, seperti Khilafah Islam, atau menjaga
Islam, seperti sanksi hukum ('uqûbât) yang dterapkan oleh Khilafah Islam,
ataupun menyebarluaskan Islam, seperti dakwah dan jihad yang diemban oleh
Khilafah Islam.
Maka, dengan
adanya Khilafah Islam, seluruh penyelesaian masalah yang lahir dari akidah
Islam tersebut bisa diterapkan dan dijaga, sehingga tidak ada satupun hukum
Islam yang diabaikan, atau bahkan ditinggalkan. Dalam hal ini, al-Ghazâli
menyatakan:
"Agama adalah asas, sedangkan sulthan (imam atau khalifah) adalah
penjaga; Apa saja yang (tegak) tanpa asas, pasti akan runtuh, sedangkan apa
saja yang (ada) tanpa penjaga, pasti juga akan hilang."
Khilafah Islam
akan mengadopsi hukum Islam untuk menjadi UUD dan perundang-undangan negara.
Dengan cara itulah, hukum-hukum Islam tersebut bisa diterapkan. Ini didukung
dengan ketakwaan rakyat, dan kontrol masyarakat yang tinggi terhadap setiap
bentuk penyimpangan atau penyelewengan dari hukum tersebut.
Sementara untuk
menjaga Islam, sistem sanksi (nizhâm al-'uqûbat) yang dilaksanakan oleh
khalifah sebagai bagian dari hukum Islam, benar-benar terbukti mampu menjaga
keutuhan ajaran Islam. Mengingat sanksi ini berfungsi sebaga zawâjir
(preventif) dan jawâbir (kuratif); preventif bagi orang lain, supaya tidak
melakukan kesalahan yang sama, sebagamana firman Allah:
"Dan dalam qishaas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." (Q.s. al-Baqarah: 179)
Dan kuratif bagi
orang-orang yang dijatuhi sanksi, sehingga di akhirat tidak akan dijatuhi lagi
hukuman oleh Allah, sebagaimana hadits Nabi yang menyatakan:
"Dan siapa saja yang melakukan sesuatu dari perbuatan (dosa) itu, kemudian dikenakan sanksi di dunia, maka itu merupakan tebusan baginya (di akhirat)." (H.r. al-Bukhâri).
Maka, dengan
diterapkannya sanksi tersebut, bukan hanya Islam saja yang terjaga, tetapi juga
kemaslahatan vital (al-mashlahah ad-dharûriyyah) ummat manusiapun akan terjaga,
baik berkaitan dengan agama, keturunan, akal, jiwa, harta, kehormatan, keamanan
maupun negara.
Sementara untuk
menyebarluaskan Islam, Khilafah Islam akan melakukan dakwah secara praktis
(dalam istilah orang Indonesia dakwah bil hal) di tengah masyarakat, baik
muslim maupun non-muslim, dengan menerapkan Islam secara utuh. Dengan begitu
cahaya Islam akan bersinar kembali, dan orang-orang non-muslim akan masuk Islam
secara berbondong-bondong. Sementara keluar, Khilafah Islam akan melakukan
propaganda tentang Islam, dengan berbagai sarana yang memungkinkan, serta
melaksanakan jihad sebagai langkah terakhir untuk menghancurkan tembok
penghalang, yang menghalangi sampainya Islam kepada seluruh umat manusia.
Firman Allah SWT.:
"Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah." (Q.s. al-Baqarah [2]: 193).
Dengan pemahaman
Islam yang utuh seperti inilah para sahabat Rasulullah saw. berhasil
melanjutkan dakwah dan kehidupan Islam yang dibangun Rasulullah saw. sehingga
Islam di masa mereka tersebar luas dan berdaulat sampai ke hampir 2/3 belahan
dunia. Panji-panji tauhid pun berkibar, hukum-hukum Allah yang sempurna
ditegakkan, keadilan dan kesejahteraan ditebarkan. Kalau hari ini umat ini
ingin mengulangi sukses Rasul dan para sahabatnya serta para pelanjut kejayaan
Islam berikutnya, pertama kali yang harus ditempuh adalah melakukan
rekonstruksi pemikiran mereka tentang Islam yang utuh, yakni menanamkan kembali
pemahaman Islam sebagai mabda atau ideologi. Tidak ada jalan lain. Wallahu'alam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar